Makan di Sini Senang di Sana Senang


Malam hari. Saya sedang melihat-lihat tweet yang muncul di timeline. Ada beberapa baris yang membuat saya penasaran, tweet tentang menjamurnya kafe di Bandung. Tentu saja saya klik karena merasakan kaitan dengan gaya hidup saya. 

Dalam berita, dipaparkan pemerintah kewalahan karena kekurangan Satpol PP untuk menertibkan kafe yang tidak punya izin, rancangan detail tata ruang kota yang belum selesai, sampai keluhan seorang warga yang merasa terganggu dengan 'tetangganya' yang mendirikan kafe tepat di sebelah rumahnya. Berita tersebut nampaknya cepat menyebar ke situs berita lainnya. Namun, dengan isi yang hampir sama, malah ada yang terkesan menyudutkan si pemilik kafe yang dilaporkan ke walikota karena mengganggu.

Saya sadari Bandung menjadi tujuan wisata akhir pekan bagi wisatawan-wisatawan lokal. Tujuan mereka terbaca: belanja pakaian dan wisata kuliner. Tidak seperti saat saya berlibur ke wilayah Yogyakarta, saya dapat menikmati berbagai hal yang memang beraroma lokal, seperti mengunjungi keraton dan alun-alun, borobudur, prambanan, pergi ke museum, dan naik becak dengan harga murah. Berbeda dengan liburan ke Bandung. Liburan ke kota besar yang budaya lokalnya tidak jadi primadona.

Meski Bandung tidak begitu menonjolkan budaya lokal sebagai tema besar dari pariwisatanya, beberapa restoran mengangkat tema Sunda. Hal ini sudah tidak aneh lagi, restoran yang menyediakan masakan dan suasana Sunda ada di mana-mana. Mungkin hal ini yang membuat para pengusaha restoran dan kafe memutar otak untuk membuka usaha yang lebih kreatif. Maka, bermunculan restoran dan kafe yang mengangkat tema bermacam-macam, mulai tema Indonesia tempo dulu sampai mancaneganara.

Sebagai warga Bandung, saya merasa senang karena disuguhi macam-macam kafe dengan masakan enak dan suasana nyaman. Saya tidak perlu terbang dan membayar mahal tiket pesawat untuk merasakan cita rasa khas Hawaii. Kakek dan Nenek yang rindu masakan Belanda pun cukup pergi ke Mall untuk mencicipinya kembali. Rasanya tidak perlu menunggu lama lagi sampai muncul kafe yang menyajikan masakan dari seluruh dunia.

Awalnya, saya melihat sebuah pola di mana kafe-kafe didirikan. Untuk menikmati pemandangan kota Bandung, daerah Dago atas menjadi pilihan. Kemudian, daerah Ciliwung, Cibeunying, dan sekitarnya untuk mendapat susananya tenang dan hijau.

Saat ini berbeda. Sangat banyak kafe bermunculan secara acak di berbagai tempat. Anak-anak muda nampaknya cukup gembira karena punya tempat bernaung. Makan siang, makan malam, bahkan sarapan, bisa di mana saja. Bangunan di kanan dan kiri sepanjang jalan begitu ramai dengan berbagai 'hiburan' bagi wisatawan. Mau makan di mana? Tinggal belok dan cari tempat parkir saja!

Berita yang saya lihat malam ini, membuat saya tersadar akan dua hal. Pertama, semakin banyak warga Bandung yang melihat peluang usaha, sekalipun di tempat bermukimnya. Kedua, apakah ada sosialisasi tentang prosedur pengajuan surat izin usaha yang baik di kota ini?

Kalau membaca kasus tetangga yang merasa terganggu dengan kehadiran kafe di sebelah rumahnya, jelas si pemilik kafe yang patut disalahkan. Dalam prosedur pengajuan surat izin usaha, seharusnya pendiri kafe sudah mendapat surat persetujuan dari penduduk sekitar. Kalau dari awal pemilik kafe 'taat prosedur', berita yang mempengaruhi nama kafenya tidak akan muncul di media massa lokal.

Nah, yang saya pikirkan sekarang, apakah benar SELURUH kafe di Bandung Raya ini sudah memiliki izin usaha? Kalau semua memiliki izin usaha, kafe-kafe tidak akan menjamur di tempat sembarangan loh Pak Walikota. Apalagi sampai ada komplain langsung ke walikota seperti dalam berita :)

gambar diambil dari sini

Comments